Kamis, 18 Juni 2009

artikel observasi daerah gambut

KONDISI LAHAN GAMBUT DI DAERAH GAMBUT

Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan permintaan terhadap produk pertanian maka kebutuhan akan perluasaan lahan pertanian juga meningkat. Lahan yang dulunya dianggap sebagai lahan marjinal, seperti lahan gambut menjadi salah satu sasaran perluasaan lahan pertanian. Selain berpotensi memberikan tambahan devisa dan kesempatan kerja bagi masyarakat, lahan gambut juga merupakan penyangga ekosistem terpenting karena tersimpan karbon dan daya simpan airnya yang sangat tinggi. Pembukaan lahan gambut merubah ekosistemnya dan menguras simpanan karbon serta menghilangkan kemampuannya menyimpan air. Dengan pengorbanan yang besar dari sisi kualitas lingkungan, penggunaan lahan gambut untuk pertanian memberikan keuntungan ekonomi yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan lahan mineral.

Berdasarkan penelitian mahasiswa Fakultas MIPA, program studi kimia angkatan 2008, pada tanggal 8 juni 2009, pada lahan gambut yang terdapat di daerah Gambut km 17. Seperti yang diketahui sesuai dengan nama daerahnya Gambut, lahan yang terdapat disana merupakan lahan gambut. Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia gambut. Untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik yang beracun dapat dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung kation polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Pada lahan gambut yang kami teliti tanaman yang tedapat di sana paling dominan adalah tumbuhan galam sedangkan tumbuhan liar lain juga dapat tumbuh seperti, purun tikus, teratai dan pakis. Organisme hewan yang dapat hidup adalah ikan – ikan kecil dan gabus. Alat yang digunakan dalam observasi ini yaitu, soiltester, pH meter dan ecment grape. Soiltester adalah alat untuk mengetahui kelembapan dan pH hasil yang diperoleh adalah 5,5 dengan kelembapan 50 %, pH meter merupakan alat untuk keasamannya dan didapatkan pH = 5, ecment grape alat untuk mengambil sampel tanah yang kemudian diuji di laboratorium. Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk. Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan secara membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga danau tersebut menjadi penuh. Gambut topogen biasanya relatif subur (eutrofik) karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut tersebut. Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Hasil pelapukannya membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan memberntuk kubah (dome) gambut yang permukaannya cembung Gambut yang tumbuh di atas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen, yang pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen lebih rendah kesuburannya dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak ada pengkayaan mineral.

Pada lahan gambut yang didatangi ini sudah banyak terdapat pengalih fungsian lahan gambut seperti sebagai pembangunan, perumahan dan pertanian. Saya sendiri sebagai orang asli gambut merasakan akibat dari pengalihan fungsian lahan gambut yang tahun demi tahunnya semakin berkembang seperti banjir dan kebakaran hutan apabila air tersebut didiamkan maka akan terdapat lapisan seperti minyak berwarna kuning keemasan seperti cairan logam. Pengalih fungsian lahan gambut pada pertanian juga mengakibatkan polusi udara karena keterbatasan akses dan kemampuan untuk mendapatkan pupuk dan bahan amelioran, maka untuk meningkatkan kesuburan tanah, petani membakar seresah tanaman dan sebagian lapisan gambut kering sebelum bertanam. Praktek ini dapat ditemukan di kalangan petani yang menanam sayuran dan tanaman pangan secara tradisional di berbagai tempat di daerah gambut. Dengan cara ini petani mendapatkan amelioran berupa abu yang dapat memperbaiki produktivitas gambut. Namun abu hasil pembakaran mudah hanyut dan efektivitasnya terhadap peningkatan kesuburan tanah tidak berlangsung lama. Lagi pula cara ini sangat berbahaya karena bisa memicu kebakaran hutan dan lahan secara lebih luas, mempercepat subsiden, meningkatkan emisi CO2 dan mendatangkan asap yang mengganggu kesehatan serta mempengaruhi lalu lintas. Untuk menghindari kebakaran, maka pembakaran serasah harus dilakukan secara terkendali di satu tempat khusus berupa lubang yang dilapisi dengan tanah mineral sehingga api tidak sampai membakar gambut. Bila pembakaran serasah harus dilakukan langsung di lapangan, maka harus dipastikan bahwa gambut di bawahnya jenuh air supaya gambutnya tidak ikut terbakar. Dalam jangka panjang pembakaran seresah dan gambut perlu dicegah untuk menjaga keberlangsungan pertanian di lahan gambut. Untuk itu diperlukan bimbingan cara bertani tanpa bakar dan pemberian bantuan amelioran serta pupuk bagi petani.

Hutan dan lahan gambut dapat terbakar karena kesengajaan atau ketidaksengajaan. Faktor pemicu parahnya kebakaran hutan dan lahan gambut adalah kemarau yang ekstrim (misalnya pada tahun El-Nino) dan/atau penggalian drainase lahan gambut secara berlebihan. Api dapat dicegah melalui perbaikan sistem pengelolaan air (meninggikan muka air tanah), peningkatan kewaspadaan terhadap api serta pengendalian apiapabila terjadi kebakaran. Salah satu bentuk pengendalian kebakaran adalahdengan cara memblok saluran drainase yang sudah terlanjur digali, terutama pada lahan terlantar seperti di daerah Pengelolaan Lahan Gambut (PLG) sejuta ha, sehingga muka air tanah lebih dangkal. Sistem pertanian tradisional di beberapa tempat di lahan gambut melakukan praktek pembakaran sebagai salah satu cara untuk menyuburkan tanah. Sistem ini dapat menyebabkan emisi dan subsiden relatif tinggi. Praktek tersebut dilakukan karena petani tidak mempunyai sarana untuk mendapatkan pupuk dan/atau amelioran untuk meningkatkan kesuburan tanah. Oleh karena itu petani perlu dibantu untuk menerapkan system alternatif yang tidak membakar lahan gambut. Seringnya terjadi kebakaran pada hutan gambut menyebabkan kabut yang bergitu tebal sehingga menghambat lalulintas di daerah gambut bahkan sering terjadi kemacetan lalulintas.

Apabila dikelola dengan baik dan benar lahan gambut bisa mendatangkan keuntungan ekonomi dan sekaligus mempertahankan karbon yang tersimpan serta memelihara keanekaragaman hayati. Pemanfaatan lahan gambut dengan merubah ekosistemnya tidak menjamin keuntungan ekonomi, bahkan seringkali mendatangkan kerugian bagi masyarakat, seperti yang terjadi pada lahan bekas PLG di Kalimantan Selatan. Untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan lingkungan sekaligus dari lahan gambut diperlukan keseimbangan antara pemanfaatan dan perlindungan. Ada beberapa pendekatan yang dapat ditempuh dalam rangka konservasi lahan gambut: menanggulangi kebakaran hutan dan lahan gambut, penanaman kembali dengan tanaman penambat karbon tinggi (tanaman pohonpohonan), pengaturan tinggi muka air tanah, memanfaatkan lahan semak belukar yang terlantar, penguatan peraturan perundang-undangan dan pengawasan penggunaan dan pengelolaan lahan gambut, dan pemberian insentif dalam konservasi gambut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar